Selasa, 06 Desember 2011


Penggiat Salafy Wahabi Musyrik Mesir Sudah Berani Mengeluarkan Fatwa Kontroversial

salafy mesirSuaranews - Munculnya dari tren terbaru Salafi yang beraliran keras di Mesir pasca revolusi 25 Januari telah menjadikan mereka bebas dalam mengeluarkan berbagai fatwa kontroversialnya, utamanya difokuskan kepada perempuan, kristen Koptik, dan budaya demokrasi.
Syaikh Mustafa al-Adawi ketika memberikan khutbah, beliau mengeluarkan fatwa yang melarang perempuan Muslim mengenakan sepatu hak tinggi, karena dianggapnya sepatu itu adalah sumber dari rayuan seorang wanita kepada pria.
"Seorang wanita hanya boleh memakai sepatu hak tinggi untuk suaminya, tetapi dia tidak boleh memakainya di luar rumahnya," katanya.
Ulama Salafy lain, Syaikh Mahmoed Amer. Juga mengeluarkan fatwa yang melarang umat Islam memberikan suara pemilunya kepada calon legislatif dari kristen Koptik atau juga rekan calon legislatif muslim yang tidak sealiran dengan Salafy seperti mereka.
"Hal ini dilarang oleh Islam untuk memilih mereka dan siapapun akan melakukan dosa besar jika melanggarnya," katanya.
Syaikh Mahmoud Amer dan beberapa ulama salafy yang lain juga menentang revolusi Mesir dan menyatakan bahwa memberontak terhadap penguasa dilarang dalam ajaran Islam.
Pernyataan kontroversial lainnya juga dikeluarkan oleh seorang tokoh Salafy terkemuka dan merupakan kandidat legislatif di parlemen Mesir, Syaikh Abdel Moneim Al-Shahat yang mengatakan bahwa demokrasi adalah bentuk kemurtadan dan dikategorikan sebagai karya Pemenang Nobel Naguib Mahfouz atau semacam "linteratur atheis."
Pernyataan ini banyak sekali ditentang dan dibenci oleh para intelektual Mesir, dan beberapa orang mengirimkan pesan peringatan supaya berhati-hati terhadap bahaya ideologi ekstrimis yang mereka mengenyampingkan budaya Mesir dan tentang kesadaran Islam rakat Mesir.
Senada dengan ucapan para ulama Salafy lainnya, salah satu ulama Salafy yang berpontensi sebagai kandidat calon Presiden Mesir, Syaikh Hazem Abu Salah Ismail mengatakan bahwa ia menentang percampuran jenis  kelamin antara pria dan wanita di tempat umum.
Meskipun mereka menolak ide dari demokrasi, Salafy sendiri bergabung dalam panggung politik demokrasi di Mesir setelah jatuhnya rezim Mubarak, dan salah satu partai mereka Al-Nour, meraih suara yang tak terduga dalam pemilu parlemen tahap pertama pasca jatuhnya rezim Mubarak.
Al-Nour adalah partai pemenang kedua setelah Partai Kemerdekaan dan Keadilan yang dimotori oleh sayap politik Ikhwanul Muslimin.
Beberapa masyarakat memandang fatwa kontroversial Salafy adalah senjata makan tuan bagi mereka sendiri, bahkan beberapa orang mengibaratkan sebagai orang yang meludah tetapi malah menjilati ludah yang telah mereka buang. (ar/suaranews)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan dikomentari